Pelanggaran HAM yang Didiamkan Pemerintah RI

Ilustrasi. Human Rights

 

Oleh: Stefanus Pigai*)


Deiyai, Kaganepai.com - Sudah sekian lama kurang lebih lima puluhan tahun mencoba mengindonesiakan Papua, mencoba mengirimkan beribuh-ribuh pasukan di medan pertempuran tetapi tidak ada harapan lagi. Beribuh-ribuh pasukan mencoba berburu di hutan belantara tetapi kembali di hadapan pimpinannya, hanya membawa sebuah (langgaran aturan perang).

Maju berperang beralat lengkap di medan perang tetapi tidak sesuai aturan perang di medan perang, inikan melanggar rambu-rambu hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Konteks ini disebut belum dewasa dalam aturan perang, buktinya pasukan militer Indonesia telah gagal mengikuti aturan berperang di lapangan. Beberapa bulan belakangan, Almarhum Pendeta Yeremia Zanambani S.Th tembak mati oleh anggota Tentara Nasional Indonesia di tengah rakyat Intan Jaya, Papua. Yeremia adalah salah satu dari sekian ribuh nyawa rakyat Papua yang korbankan di tangan pasukan Kolonial.

Seperti data yang terhimpun tabloidjubi.com tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang macet di komnas HAM Republik Indonesia; peristiwa Wamena, 4 April 2003 (47 orang), Wasior bulan April - Oktober 2001 (117 orang), Dogiyai 6 Mei (16 orang), Kimaan 2001 (18 orang), Paniai Desember 2014 (5 orang), Yahukimo 8 Maret 2015 (3 orang), dan Tolikara 17 Juli 2015 (11 orang). Kasus kekerasan ini adalah terjadi sebelum menghendaki tahun 2015, belum terhitung dengan setelah terjadi tahun 2016. Banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilupahkan dan banyak pula yang menciptakan, itulah kelakuan kebusukan pasukan merah putih yang mempertahankan perpanjangan konflik kekerasan di rana politik Papua.

Seperti yang dilansir id.m.wikipedia.org adalah “Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada Negara, atau dalam kata lain, Negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh swasta. Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan poltik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi sosial dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan.”

Pemimpin Negara dan anggota pasukannya gagal di medan pertempuran. Sebab, ketangisan keluarga korban pasukan Tentara Nasional Indonesia belum dihentikan oleh pimpinan tertinggi, akibat kegilaan mengurusi Papua. Menjadi korban di lapangan pertempuran adalah anggota utusannya, sayang anak istri mereka. Alat cangi telah gagal di teritorial pulau Papua,  perlawanan kolonial di Papua hanyalah melawan di luar garis perlawanan, (maju berperang beralat lengkap di medan perang tetapi tidak sesuai aturan perang di medan perang).

Akhir-akhir inipulah, droping gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Brimob perlahan-lahan menduduki di pulau Papua, hingga kini, mencapai sekian ribuh personel, apakah di pulau Papua tidak ada militer yang bertugas di pulau Papua? Mengapa pimpinan tertinggi kirimkan pasukan ke Papua? Menjadi pertanyaan.! Sebab rakyat Papua berhamburan kiri-kanan di mana-mana, hanya karena suiping, menodong alat Negara tanpa alasan yang jelas.

Hingga kini, di kabupaten Nduga menjalan tahun kedua, pengungsi tidak kembali ke kampung halamannya. Adapulah mati kiri-kanan di hutan belantara. Semua ketangisan kedukaan rakyat Nduga, Intan Jaya, dan umumnya tanah Papua merasahkan adalah pasukan militer Indonesia bertempur di medan perang diluar garis pembatasan.

Oleh karena itu, kalakuan negatif yang melekat pada pemerintah pusat ini perluh mengubah, karena bangsa Melanesia bukan binatang yang ditembak mati, disiksa, dihina, dan dipenjarahkan, ujungnya memupuk kata-kata pembiaran. Kalau seenaknya memupuk pembiaran terus menerus dipupuk di hadapan manusia, bagaimana dengan di hadapan Tuhan.? Sebab, seluruh sendi-sendi berbangsa dan bernegara ciptaan Tuhan.

Kasus yang sama, media Internasional soroti, masalah pengunsi Nduga sampai kini belum kembali, masih mengunsi ke hutan hingga melarikan diri ke kabupaten Wamena. Semenjak terjadi pengunsian beberapa bulan belakangan ini, perhatian khusus dari pemerintah pusat masih minim, berarti warga Ndugama bukan bagian dari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain kabupaten Nduga, kabupaten Yahukimo dan puncak Papua serta beberapa kabupaten wilayah Lapago, umumnya seluruh pulau Papua di bawa tekanan militer Indonesia. Droping pasukan bukan hasil akhir dari tindakan kekerasan terhadap rakyat Papua. Negara bermain di belakang layar, (rakyat Papua dan anggota militer Indonesia) yang tembak mati digelapi, tidak umumkan di muka publik. Sebagai kepalah Negara, seharusnya di biarkan ruang konflik kekinian.

Menurut United Nation High Commisioner for Refugees (UNHCR) Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam resolusi 428 (V), bulan Desember 1959. United Nations High Commisioner for Refugees (Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengunsi) dibentuk pada bulan Januari 1951. UNHCR memberikan pengertian pengunsi dengan menggunakan dua istilah, yaitu; pengunsi mandat dan pengunsi statuta. Istilah yang dipergunakan ini bukan istilah yuridis, melainkan untuk alasan praktis atau kemudahan saja. 

Pengertian istilah tersebut adalah sebagai berikut; Pengunsi mandat adalah orang-orang yang diakui statusnya sebagai pengunsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi wewenang atau mandat yang ditetapkan oleh statute UNHCR. Pengunsi statuta adalah orang-orang yang berada di wilayah Negara-negara, pihak pada konversi 1951 (setelah mulai berlakunya konversi ini sejak tanggal 22 April 1954) dan protokol 1967 sesudah mulai berlakunya protokol ini sejak 4 oktober 1967).
 

Jadi, antara kedua istilah ini hanya dipakai untuk membedakan antara pengunsi sebelum konvensi 1951 dengan pengunsi menurut konvensi 1951. Kedua kelompok yang istrumen internasional masuk dalam kategori pengunsi yang mendapat perlindungan UNHCR. Dengan kalimat yang dikutip kontroversi UNHCR, di Negara Indonesia menjadi keterbelakangan untuk menindaklajuti penetapan statuta. Sehingga itu, mengapa pemimpin tertinggi hapuskan penanganan kategori pengunsi yang berlaku di Negara Indonesia.

U   Konflik kekerasan dan pengunsi Papua menjadi perhatian serius serta lebih profesional dalam menanganinya. Karena, sudah sekian lama kurang lebih lima puluh tahun melukai bangsa Melanesia. Luka bangsa Melanesia belum terobati secara professional. Dimanakah keadilan dan kedamaian, apakah hukum di Negara Indonesia berlaku di Papua? Introveksi bagi pemimpin tertinggi dalam menangani kasus-kasus kekerasan dan pengunsi-pengunsi di seluruh pulau Papua.

Editor: Admin Kaganepai

Tidak ada komentar